[Seharusnya aku tak lagi mengejar]

Akhir-akhir ini hidupku banyak di hinggapi pertanyaan dalam diri. Semuanya berkumpul dititik ingatan menjadi bentuk yang nyata di setiap hari. Cara bertahan apalagi yang semesta ajarkan, ketika raut wajah percaya akanku saya tak pernah ia perlihatkan. Mungkin selama itu pula aku tak pernah bisa kau terima lewat mata.

Bersikerasnya aku dalam menuntaskan keraguan selalu aku tunjukan. Meski akhirnya aku terlempar lagi, kau hemas lagi dengan perlahan.
Ada hal tersulit yang ku usir ketika diam, ialah apa yang ku pendam kembali menguat tak mau terbenam. Kembali mengakar erat hingga aku terjerat. Pada duri kecewa yang di kelilingi sekat. Aku dan langkah kakimu yang selalu tak bisa dekat.

Saat seperti ini, waktu hanya ku anggap roda yang ku kayuh lagi dengan lebih cepat agar aku sampai pada satu tempat―memajang rindu yang semakin kuat.

Namun sekali lagi, sadarmu terlalu lama. Hingga akhirnya aku kembali merajut luka yang sama. Tak pantaskah aku jika kau ku jadikan jagat, pusat dari segala macam rasa terdalam yang ku punya?―Cinta.

Jika akar saja tetap mampu menjatuhkan rantingnya dengan daun, apa bedanya hatiku yang mudah rapuh sebab kau tak pernah sungguh. Ternyata memang akulah yang harusnya berhenti lalu bersandar diantara sabar.
Memang seharusnya, aku sudah memulangkan harapan itu jauh ke tepian, membiarkannya hilang dan hancur berantakan seperti perasaan.
memang seharusnya, tatapan kita tak pernah terjadi kalau kahirnya kau selalu saja menghindari.
Memang seharusnya aku berhenti berada dibelakang langkahmu. Ketika memang kau hanya semakin jauh dariku, semakin tak mau tahu bahwa aku di sini menunggu.

Aku yang semestinya tak lagi mengejar adalah aku yang harusnya mendengar.
bahwa ternyata berlari sendirian hanya membuat lelah terus ku rasakan.



―Phospheneous

Komentar

Postingan populer dari blog ini

for my annoying friend

Masuk Perguruan Tinggi Negeri, Penting Gak Sih?

[I Miss You]